Waktu fiksi Alan Lightman

sumber: amazon.com

Alan Lightman menceritakan dua percakapan kecil antara Einstein dan Besso. Novel ini terbit pada tahun 1992, cukup lama. Saya mengenal novel ini di tengah-tengah pandemi ketika membuka acara TEDx yang menghadirkan Alan Lightman. Alan berbicara panjang lebar tentang relasi antara fisika dan seni. Keduanya memiliki kesamaan ketika memandang realitas, hanya saja yang membedakan bagaimana realitas itu diterjemahkan melalui kata yang bermakna puitis atau simbol matematis yang rigoris.

Bukan sepenuhnya ulasan, tetapi sekedar membaca hasil bacaan sendiri. Saya menyelami dunia yang berbeda dari novel Einstein’s Dream ini. Saya melihat narasi-narasi kecil di sekitar sudut kota, di dalam rumah kecil, di tengah perbincangan pasangan; yang semuanya merujuk dan merunut pada suatu konsepsi waktu tertentu. Tiap babnya menjelaskan bagaimana waktu dipahami oleh keberagaman sudut padang. Saya hampir mencari-mencari manakah konsep waktu yang relevan untuk diri saya sendiri. Akhirnya, saya menemukan beberapa poin penting, meskipun rasanya seperti membaca buku motivasi di tengah-tengah pandemi.

Pertama, waktu paralel. Waktu ini memungkinkan adanya diri saya yang lain. Saya yang sedang mengetik, saya yang sedang bermain gim, atau saya yang sedang meratapi kemalasan di tengah pandemi, atau bahkan kemungkinan tak terhingga untuk menjadi saya yang sedang melakukan sesuatu secara bersamaan. Waktu paralel seperti waktu pilihan untuk kita dalam memilih. Tidak ada yang salah dengan pilihan kita. Meskipun pada akhirnya, kita akan bertanya ulang apakah kehidupan kita sudah diatur sedemikian rupa? Apakah semuanya sudah ditakdirkan begitu saja? Apakah kita punya kehendak bebas? Apakah kehendak bebas itu ilusi? Tetapi mengapa kita bisa membaca masa depan?

Kedua, waktu terbagi menjadi dua: waktu mekanik dan waktu tubuh. Waktu mekanik bekerja sebagaimana kita melihat jam di tangan kita, jam di dinding, atau jam di pojok atas atau bawah desktop komputer kita. Waktu mekanik bekerja sangat formal. Saya memahami itu, sebagaimana kita harus berdiskusi via skype atau zoom pada waktu yang telah ditentukan. Waktu Indonesia Barat akan sedikit berbeda dengan Waktu Indonesia Timur, uniknya kita bisa bertemu pada waktu yang sama meski waktu pada jam tangan kita berbeda. Artinya, jam mekanik telah mengatur hidup kita sedemikian disiplinnya.

Waktu tubuh sangat lentur, dia bisa bergerak lebih cepat atau lebih lambat. Saat merasakan kecemasan atau ketakukan maka waktu akan berhenti begitu saja, sedangkan di saat merasakan kebahagiaan waktu seolah bergerak begitu cepat. Berbincang dengan orang lain atau duduk menyendiri akan memperlihatkan intensi waktu yang berbeda. Waktu begitu menubuh dengan diri. Seolah diri kita ingin tetap berada pada waktu yang terbaik, untuk menjadi selalu sehat, untuk menjadi selalu kaya raya, atau untuk dapat membaca buku filsafat dan novel favorit tanpa ada batasan. Keinginan lainnya, mungkin waktu bisa menghentikan rasa lelah.

Ketiga, bayangkan jika waktu itu berhenti. Mungkinkah kehidupan manusia akan berhenti pula? Semuanya berhenti, kita tidak perlu repot-repot mengkhawatirkan masa depan. Untung, untuk mereka yang sedang bermain cinta atau mereka yang sedang merasa bahagia berada di atas puncak kejayaan dan waktu berhenti. Tetapi, bagaimana dengan mereka yang berbalik arah?

Keempat, ada waktu di mana masa depan, masa kini, dan masa lalu menjadi prinsip pandangan hidup. Ada orang yang merasa terjebak pada masa lalu, atau di sisi lain, takut akan masa depannya. Ada orang yang merasa bahwa hidup di antara keduanya adalah pilihan terbaik.

Kelima dan seterusnya, adalah bagaimana kita menghayati waktu. Waktu yang terhayati menjadi relatif begitu saja. Bayangkan jika seluruh umat manusia memiliki hidup sekitar 1 hari sebelum semuanya punah. Pilihannya adalah untuk menjadi sangat baik dengan sekitar atau menyelesaikan urusannya dengan penuh gairah. Waktu sama seperti objek ruang, tetapi karena ruang lebih terhayati, waktu jadi hilang begitu saja. Kesadaran kita muncul setelah melewati suatu fase tertentu.

Sembari menyelesaikan beberapa poin di atas, saya mencatat satu kutipan yang sangat cocok untuk generasi pelamun seperti saya. 24 jam hidupnya terhubung dengan ruang dan waktu dalam jaringan. Waktu terasa lebih cepat. Maka, kemudian muncul bayang-bayang masa depan yang tak terduga.

“Bagi mereka yang telah melihat masa depan, inilah dunia dengan jaminan keberhasilan. Akibatnya, mungkin beberapa proyek dimulai tanpa berharap beroleh kemajuan karir. Beberapa perjalanan dilakukan tanpa kota tujuan. Pertemanan tidak harus dilanggengkan. Sejumlah gairah menjadi sia-sia. Bagi mereka yang belum beroleh penglihatan, inilah dunia yang tertunduk lesu. Merekalah orang-orang yang menghabiskan waktu untuk tidur dan berharap bayangan masa depan muncul dalam impian.”

Pada akhirnya, hanya kemewaktuan dengan kepastian yang dicari oleh hampir setiap manusia. Saya begitu optimis, 2020 adalah tahun yang pasti untuk melakukan penelitian, tetapi dugaan saya meleset, waktu prediksi masa depan kemudian berbalik arah. Tidak ada penelitian, perpustakaan ditutup, dan fasilitas dibatasi. Untung saja, saya tidak membuang konsep waktu. Meskipun kemudian kita bicara bahwa jangan-jangan waktu adalah kecemasan.

Atau….

Kecuali, saya benar-benar membuang semua konsepsinya tentang waktu. Waktu ialah ilusi dan tidak pasti, misalnya. Tetapi, saya rasa waktu dan ruang keduanya sama-sama menubuh. Sama seperti mimpi Einstein, mendekatkan diri pada Tuhan dengan cara membaca waktu. Lantas, bagaimana jika Tuhan tidak mendekat meskipun kita telah membongkar apa itu waktu?

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Design a site like this with WordPress.com
Get started